Sejatinya, ungkapan mengenal kitab al-Hikam seolah seperti menggarami lautan, setidaknya di kalangan umat muslim yang memang pernah mendalami kitab tersebut di pesantren maupun yang rutin mempelajari dan mengamalkan aspek-aspek ajaran tasawuf.
Setidaknya, ungkapan tersebut yang juga diungkapkan dalam kata pengantar Anis Maftukhin, Lc. dalam buku Al-Hikam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari yang diterbitkan oleh Penerbit Turos.
Sebagai bagian dari mengenal kitab al-Hikam, ia telah diterjemahkan oleh berbagai penerbit sejak lama. Bahkan, salah seorang ulama di abad ke-16 asal Pariaman, Sumatera Barat, bernama Syaikh Burhanuddin Ulakan, telah mensarikan ajaran-ajaran dalam kitab al-Hikam dan menuliskannya kembali dalam sebuah kitab bernama Tadzkir al-Ghabiyy.
Dalam riset Ahmad Taufik Hidayat dan Sudarman berjudul “Melayunisasi Kitab al-Hikam Karya Ibn ‘Athaillah as-Sakandari” menyimpulkan kalau karya Syaikh Burhanuddin Ulakan tidak bisa dikatakan sebagai terjemahan dari al-Hikam, tapi penulisan karya baru dengan menggalinya dari al-Hikam.
Al-Hikam, juga disyarahi oleh salah seorang ulama Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani degan judul Misbahu al-Zulam ‘ala Nahji al-Atamm fi Tabwib al-Hikam, selesai ditulis tahun 1887 M.
Al-Hikam sebenarnya merupakan kitab yang ditulis oleh Ulama bertarikat Syadziliyyah, sehingga menjadi rekam jejak sejarah juga masuknya Tarikat Syadziliyyah di Nusantara. Namun, al-Hikam, dengan muatannya yang sebenarnya begitu dalam, begitu diterima luas di masyarakat Indonesia.
Versi naskah paling populer al-Hikam adalah kitab kuning dengan kotak di tengah yang berisi penjelasan Ibn ‘Abbad dengan nama Gāyatu al-Mawāhib al-‘Aliyyah, dan penjelasan yang lebih singkat oleh Syekh Abdullah as-Syarqawi. Penjelasan yang lebih singkat inilah yang diterbitkan oleh Turos Pustaka.
Masih tentang penerimaan kitab al-Hikam. Naskah yang kami jelaskan di paragraf sebelumnya, mengutip temuan Alhafiz Kurniawan berjudul Manuskrip al-Hikam: Edisi Teks dan Terjemahan, adalah naskah yang paling populer dicetak dan tersebar luas di Inddonesia.
Naskah kitab al-Hikam model tersebut, dicetak oleh berbagai penerbit di wilayah Surabaya, Bandung, Semarang. Bahkan sering terlihat kalau salah satu penerbit kitab kuning di wilayah Indonesia, berasal dari wilayah Singapura.
Dua dasawarsa belakangan ini, setelah arus cetakan Timur Tengah jauh meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Indonesia mulai mengenal syarah al-Hikam lain selain Ibn ‘Abbād dan Syaikh Abdullah as-Syarqāwī. Misalnya syarah yang ditulis oleh Syaikh Zarrūq, Ibn ‘Ajīah, Ibrāhīm al-Iqsharā’ī, hingga Syaikh Sa’īd Ramadan al-Būṭī, untuk menyebut figure paling kontemporer.
Penerbit Turos Pustaka menerbitkan kitab al-Hikam, seperti sudah disebutkan, dengan memilih syarah yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdullah as-Syarqāwī, sejak tahun 2019. Hingga saat ini, tertulis sudah cetakan ke-6. Cetakan Penerbit Turos Pustaka ini menambah daftar panjang resepsi dan diseminasi kitab al-Hikam oleh pembaca masyarakat Indonesia.
Karena seperti kita tahu, penerbitan kitab kuning dan terjemahannya tidak sama sekali terganggu oleh problem royalti, khususnya oleh penulis. Sehingga setiap penerbit tinggal berlomba-lomba memberikan versi terbaik dari cetakan atau terjemahannya.
Al-Hikam versi Penerbit Turos Pustaka ini dimulai dengan keunggulan, misalnya, dicetak dalam versi yang cukup lux, dengan hard cover. Di bagian awal, kita diantarkan dengan diberikan poin-poin penting tentang keunggulan kitab al-Hikam. Lalu diberikan sejumlah kata pengantar, misalnya ada kata pengantar dari K.H. Anis Maftukhin, Lc.dan pengantar tokoh, Prof. Dr. Ahmad Mubarok, Guru Besar Psikologi Islam Universitas Indonesia.
Namun, yang paling terlihat keunggulannya adalah menghadirkan terjemah bahasa Inggris di setiap kalimat-kalimat Ibn ‘Aṭāillah al-Sakandarī. Namun, penerbit Turos, hingga halaman terakhirnya, tidak memberikan penjelasan apakah yang menerjemahkan nasihat-nasihat Ibn ‘Athaillah adalah penerjemah yang juga menerjemahkan teks al-Hikam as-Syarqāwi ke bahasa Indonesia atau tidak.